Rabu, 10 Agustus 2011

Revitalisasi pasar tradisional sebatas isu politik

Bisnis Indonesia
Sabtu, 20/02/2010


 Oleh Rizal Halim
Peneliti pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Hiruk pikuk evaluasi program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid 2 menjadi sajian yang menarik beberapa pekan belakangan ini.
Masing-masing kementerian mengklaim pencapaian program 100 hari mereka mencapai atau mendekati angka 100%. Fantastis bukan?
Kementerian Perdagangan, misalnya, mengklaim pencapaian program 100% mereka menembus angka 90%, Kementerian Koperasi dan UKM memaparkan program 100 harinya telah rampung 100% pada hari ke-75. Bahkan ada pula yang memuji diri dengan mengklaim program 100 harinya mendapat nilai excellence.
Program 100 hari ibarat masa percobaan bagi para menteri untuk dapat tetap bertahan di kursi kementeriannya. Sepintas terkesan sangat klise, sekadar lip service dan tentunya menyakitkan hati.
Salah satu program yang ada di beberapa program kementerian adalah revitalisasi pasar tradisional. Kementerian Koperasi dan UKM menyatakan telah merampungkan revitalisasi pasar dengan berhasil merevitalisasi pasar di 90 titik. Sementara itu, Kementerian Perdagangan menyatakan ‘nyaris’ merampungkan program revitalisasi pasar tradisional beserta gudangnya.
Melalui tulisan ini mari kita lebih bijak menempatkan persoalan, sehingga isu pasar tradisional tidak lagi menjadi bulan-bulanan. Revitalisasi pasar tradisional sepertinya telah menjadi komoditas yang diobral di mana-mana, tetapi anggapan tersebut tentunya tanpa tendensi meragukan kinerja Kementerian KUKM maupun Kementerian Perdagangan.
Sangat mengganggu ketika revitalisasi pasar tradisional hanya dikaitkan dengan perbaikan fisik, apalagi kalau perbaikan fisik yang dimaksud hanya peletakan papan nama pasar.
Revitalisasi pasar tradisional merupakan konsep yang holistic dalam membenahi pasar, setidaknya kata ‘vital’ dalam terminologi revitalisasi mengandung makna yang dalam, tidak sekadar fisik.
Revitalisasi termasuk di dalamnya bagaimana menjadikan pasar tradisional sebagai ikon perekonomian bangsa, simbol kewirausahaan lokal, indikator denyut ekonomi suatu wilayah, bahkan menjadi identitas sosial-ekonomi dan budaya bangsa.
Revitalisasi perlu dilihat dari berbagai aspek yang bekerja secara paralel dan tidak parsial.
Tata kelola
Aspek pertama, tentunya permasalahan tata kelola dan kelembagaan pasar. Tata kelola pasar tradisional yang buruk menjadi hambatan revitalisasi dan berpotensi mengimpotenkan program perbaikan fisik revitalisasi pasar yang diklaim di atas.
Persoalan tata kelola tidak pernah kita temukan dalam berbagai pemaparan revitalisasi pasar yang dijelaskan oleh pemerintah. Kalaupun ada terkesan normatif dengan bahasa bahwa pasar harus dikelola secara profesional, dan sebagainya.
Namun, bagaimana pengelolaan yang profesional itu? Kementerian atau kedinasan mana sebagai penanggung jawabnya? Bagaimana koordinasi antarlembaga? Apa ukuran kinerjanya?Apa sanksinya? Apa reward-nya? Selain itu, tentunya masih banyak pertanyaan yang menuntut jawaban konkret.
Kalau kita membuka berbagai rencana strategis baik di tingkat kementerian maupun kedinasan, maka kita akan menjumpai berbagai program revitalisasi pasar yang berpotensi duplikasi dan terkesan tanpa koordinasi.
Nilainya bisa dipastikan tidak sedikit dan wajar saja kalau banyak pandangan yang menyatakan tidak seriusnya pemerintah membenahi pasar tradisional. Yang lebih menyedihkan lagi yakni minimya data statistik baik jumlah pasar tradisional, pedagang, lapangan kerja yang tercipta, nilai ekonomis, dan sebagainya.
Bisa dibayangkan data yang selama ini digunakan pemerintah (Kementerian Perdagangan maupun KUKM) merupakan angka-angka yang tidak akurat dan sudah obsolete, yang kemudian dijadikan dasar pengambilan kebijakan.
Ketika datanya tidak akurat, maka kemungkinan kebijakannya tidak akurat juga lebih besar.
Kedua, dari aspek finansial seperti akses terhadap jasa keuangan yang minim, skema pembiayaan, yang hanya dijadikan program di atas kertas, tetapi akan sulit kita temui pada kondisi riil di pasar.
Ketiga, aspek distribusi dan mekanisme kontrol kualitas barang yang sampai detik ini tidak pernah terdengar. Hasil penelitian RICA (Rural Investment Climate Assessment) pada 2005 bukan isapan jempol dengan memetakan kualitas pasokan ke pasar tradisional di mana barang/jasa yang dipasok ke pasar tradisional bermutu rendah atau bahkan tumpahan dari pasar modern yang reject.
Ketiga aspek tadi dapat dikelompokkan sebagai aspek Necessary Condition, sedangkan aspek keempat yakni sarana fisik dan infrastruktur pasar yang selama ini didengungkan oleh pemerintah menjadi aspek Sufficient Condition.
Sampai di sini jelas dapat kita lihat betapa gamangnya program 100 hari khususnya dalam rangka revitalisasi pasar tradisional.
Untuk kesekian kalinya pasar tradisional kembali menjadi komoditas yang diobral tidak hanya pada pemilu legislatif, pilpres, bahkan program 100 hari KIB 2

http://www.madani-ri.com/2010/02/22/revitalisasi-pasar-tradisional-sebatas-isu-politik/